Pemerintahan militer Jepang membagi 3 wilayah komando, yaitu Jawa dan Madura, Sumatera serta Indonesia bagian timur. Untuk wilayah Jawa dan Madura berlaku Osamu Sirei 1942 No.1, yang mengatur bahwa seluruh wewenang badan pemerintahan dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan militer Jepang. Terhadap 2 wilayah lainnya juga diatur dengan peraturan yang serupa.
Kitab undang-undang dan ketentuan perundangan yang semula berlaku hanya untuk orang-orang Belanda, kini juga berlaku untuk orang-orang Cina. Hukum adat tetap dinyatakan berlaku untuk orang-orang pribumi. Pemrintah militer Jepang juga menambah beberapa peraturan militer ke dalam peratuturan perundangan pidana, dan memberlakukannya untuk semua golongan penduduk.
Namun kontribusi penting yang diberikan Jepang ialah dengan menghapuskan dualisme tata peradilan, sehingga Indonesia hanya memiliki satu sistem peradilan. Sebagaimana juga pada institusi pengadilan, jepang juga mengunifikasi badan kejaksaan dengan membentuk Kensatzu Kyoku, yang diorganisasi menurut 3 tingkatan pengadilan. Reorganisasi badan peradilan dan kejaksaan ditujukan untuk meniadakan kesan khusus bagi golongan Eropa di hadapan golongan Asia.
Dalam situasi lebih mementingkan keperluan perangnya, pemerintah militer Jepang tidak banyak merubah ketentuan administratif yang telah berlaku melainkan hanya beberapa ketentuan dianggap perlu untuk dirubah. Untuk menjamin jalannya roda pemerintahan dan penegakan tertib hukum, Jepang merekrut pejabat-pejabat dari kalangan Indonesia untuk melaksanakan hal tersebut. Namun setelah Indonesia berhasil merebut kemerdekaan dan berpemerintahan, banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah militer Jepang dinyatakan tidak berlaku.
Disarikan dari buku, ““Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika Sosial-Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”, oleh Soetandyo Wignjosoebroto, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1995, hlm. 183-187.