Jumat, April 18, 2008

Konservasi di Indonesia

Konservasi di Indonesia

Muhamad Faris Marino


Siswa Sekolah Menengah Atas Negeri 109 Jakarta


Apa kabar? Suatu kalimat sapaan yang biasa digunakan untuk menanyakan sesuatu, tentang kabar/berita/warta. Biasanya terlontar setelah tak lama berjumpa. Apa kabar Konservasi di alam Indonesia? Ketika isu perubahan iklim menjadi tren baru di dunia lingkungan, warta konservasi alam di Indonesia ini seakan terlupakan. Memang, di tengah menipisnya cadangan minyak dunia serta merajalelanya industri yang berdampak pada meningkatnya suhu udara di permukaan bumi, isu perubahan iklim seakan menjadi hangat. Sehangat dampak yang ditimbulkannya.
Padahal, ketika isu itu ramai dibicarakan, konservasi pun menjadi terlupakan. Habitat-habitat tempat para flora dan fauna tersisa yang ditinggali, tiap detik terus berkurang dan terus menggusur kelompok-kelompok makhluk endemik yang tersisa. Ini penting, begitu pun semua isu tentang lingkungan, sangat penting untuk diperhatikan. Jadi, harus ada porsi yang berimbang, karena satu sama lain saling berkaitan. Seperti sebuah siklus yang akan terputus jika hanya satu mata rantai yang dijaga.
Fragmentasi dan konversi kegunaaan suatu habitat merupakan suatu masalah utama yang dihadapi oleh seluruh kehidupan liar di Indonesia. Setiap detik populasinya kian terancam. Perlindungan hutan sebagai habitat serta sumber makanan merupakan salah satu cara agar kehidupan liar ini tidak masuk ke jurang degradasi kepunahan.
Seperti apa yang terjadi di Cagar Alam Leuweung Sancang (CALS), Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kawasan dengan luas 2.157 hektar ini, kini hanya tersisa sekitar 20% saja areal yang berupa hutan. Konversi habitat, perladangan, perburuan dan penambangan merupakan beberapa masalah utama yang menjadi ancaman di sini. Hal ini menjadikan Hutan Sancang yang dulu dikenal dengan keangkerannya kini seakan tak bertuah. Hutan sebagai sumber makanan bagi para primata serta satwa-satwa lainnya lambat laun terus berkurang. Bahkan kerusakan yang telah berlangsung lebih dari tiga puluh tahun ini telah memusnahkan keperkasaan banteng yang kini hanya tinggal cerita di Sancang.


Sejarah Panjang Kerusakan Habitat


Fragmentasi dan konversi habitat merupakan masalah utama yang dihadapi oleh hampir semua habitat satwa di Indonesia. Hal yang juga secara khusus telah menghancurkan spesies primata di Indonesia. The Primate Specialist Group dari Badan Konservasi Dunia (IUCN) telah menetapkan dua spesies, yaitu Orangutan Sumatera (Pongo pygmaeus) dan Owa Jawa (Hylobates moloch), sebagai spesies yang menduduki peringkat tertinggi pada daftar dua puluh lima primata yang terancam punah.
Menurut data dari Biro Pusat Statistik, sebagai sebuah pulau yang memiliki luas sekitar 130.000 km2, pertumbuhan manusia yang pesat di Jawa telah menjadikan pulau ini penuh sesak selama dua ratus tahun terakhir. Padahal, sebelum kemerdekaan Indonesia, pemerintahan Belanda pernah mencoba untuk merelokasi beberapa populasi manusia ke pulau-pulau lain, untuk mengurangi tekanan terhadap lingkungan. Angka pertumbuhan penduduk mulai tumbuh pesat pada abad 19 sampai abad 20. Dalam empat puluh tahun dari 1961 sampai 2001, pertumbuhan di pulau terpadat di Indonesia ini hampir dua kali lipat dari 63 juta sampai 115 juta.
Perkembangan populasi manusia ini, serta sejarah panjang dari pertanian, seribu tahun yang lalu secara signifikan telah mengurangi luas hutan di Jawa. Whitten et al (1996) memperkirakan, dalam kurun waktu tersebut adanya kehilangan lebih dari satu setengah juta hektar tanah pertanian dan lahan tanaman berkayu/hutan. Sebagian besar hutan-hutan alami yang tersisa sekarang berada di daerah-daerah yang telah dilindungi secara khusus, seperti Taman Nasional dan sejenisnya.
Pulau Jawa kembali kehilangan hutannya ——signifikan terjadi setelah adanya kebijakan tentang pengelolaan hutan yang terdesentralisasi di tingkat daerah. Departemen Kehutanan (2001), menyatakan bahwa lima tahun selepas diterapkannya kebijakan ini ——dari data hasil pencitraan satelit— selama sepuluh tahun, mulai dari 1985 sampai 1997, telah terjadi pengurangan luas hutan yang sangat besar. Beberapa meliputi area yang dilindungi. Hutan di Cagar Alam Gunung Simpang Tilu pada masa itu berkurang hampir lima belas persen dari luas 15.000 hektar. Taman Nasional Ujung Kulon kehilangan empat persen dari luasan 76.100 hektar. Taman Nasional Gunung Halimun kehilangan dua setengah persen dari luas 42.000 hektar.
Menurut penulis, pengrusakan fungsi dan luas hutan harus dihentikan. Karena, bila tidak dihentikan segera, makin banyak keanekargaman hayati yang tersebar luas di tanah air ini akan hilang dimakan waktu.
Maka itu, perlu dicetuskan suatu upaya pelestarian atau konservasi terhadap ekologi keanekaragaman hayati ini. Upaya tersebut bisa berwujud suatu taman margasatwa, cagar alam, konservasi in-situ dan konservasi Eks-situ.

Konservasi sebagai Solusi

Konservasi keanekaragaman hayati berpedoman pada pengelolaan konservasi di tiga tingkat keanekaragaman hayati yaitu:
1.Tingkat ekosistem,
2.Tingkat jenis dan
3.Tingkat genetik secara terintegrasi dan komprehensif.
Untuk itu tujuan jangka panjang Konservasi Keanekaragaman Hayati harus dapat menjamin kelestarian fungsi ekosistem esensial sebagai penyangga kehidupan terutama di luar kawasan konservasi.
Pada tingkat spesies, konservasi dalam jangka panjang bertujuan untuk mencegah terjadinya kepunahan jenis yang diakibatkan oleh penyebab utama terancamnya jenis dari kepunahan yaitu kerusakan habitat dan pemanfaatan (termasuk perdagangan) yang tidak terkendali. Bagi jenis-jenis yang populasinya sudah dalam kondisi kritis maka pengelolaannya harus diarahkan pada pemulihan populasi (population recovery) dengan berbagai cara termasuk perbaikan habitat, rehabilitasi satwa hasil sitaan serta penangkaran untuk dilepas kembali ke alam (conservation breeding).
Pada tingkat genetik, konservasi keanekaragaman genetik diarahkan pada konservasi in-situ di dalam dan di luar konservasi maupun konservasi eks-situ. Arah pengelolaan sumber daya genetik di masa depan adalah pemanfaatan sumber daya genetik untuk mendukung pengembangan budidaya tanaman maupun ternak melalui pengembangan kultivar-kultivar unggul.
Konservasi in-situ adalah kondisi sumber daya genetik yang terdapat di dalam ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi jenis-jenis berdaya hidup dalam lingkungan alaminya, dan dalam hal jenis-jenis terdomestikasi atau budidaya, di dalam lingkungan tempat sifat-sifat khususnya berkembang. Konservasi in-situ biasanya berwujud cagar alam.
Salah satu contoh konservasi in-situ di Indonesia adalah Taman Nasional Ujung Kulon. Taman nasional ini dinilai WWF telah berhasil melakukan konservasi in-situ karena dapat mengontrol jumlah populasi badak jawa.
Menurut WWF (2006), populasi badak di Jawa masih bisa terus berkembang. Adanya temuan foto pada Juli 2006 yang menggambarkan induk badak bersama anaknya memberikan harapan bahwa populasinya masih terus berkembang. Gambar-gambar tersebut tertangkap oleh salah satu kamera intai dari total 26 kamera intai yang dipasang di Taman Nasional Ujung Kulon. Temuan gambar anak Badak Jawa tersebut - didentifikasi dari foto kamera intai dan ukuran jejak kaki - memberikan harapan baru dan dorongan untuk upaya konservasi bagi mamalia besar ini. Kita meyakini bahwa ini waktu yang tepat untuk menggiatkan kembali upaya-upaya kita untuk menyelamatkan masa depan Badak Jawa.
Konservasi eks-situ adalah konservasi komponen-komponen keanekaragaman hayati diluar habitat alaminya.
Konservasi eks-situ dapat juga dilakukan secara in-vitro dengan memanfaakan teknik kultur jaringan.Teknik ini digunakan untuk penyimpanan plasma nutfah dalam jangka panjang dalam jumlah sampai dengan 10 botol setiap aksesi.
Hal yang perlu diperhatikan dalam konservasi eks-situ adalah rejuvenasi (peremajaan). Pada konservasi dengan penyimpanan benih pada jangka waktu tertentu, maka rejuvenasi diperlukan terhadap benih-benih yang telah mengalami penurunan vitabilitas. Rejuvenasi dapat dilakukan secara bergilir atau berkala 2-3 tahun sekali, tergantung kepada komoditas dan keadaan. Tentunya rejuvenasi dimaksudkan untuk memperoleh benih yang baru. Pada pelestarian tanaman semusim di lapang (yang diperbanyak secara vegetatif; misalnya ubijalar dan ubikayu), maka rejuvenasi dilakukan segera setelah panen.

Konservasi dengan Aspek Sosial


Dalam praktek di lapangan, kerap kali masih ditemukan pengertian dan persepsi tentang konservasi yang keliru, yaitu seolah-olah konservasi melarang total pemanfataan biosfir. Berlandaskan pada pengertian tersebut masyarakat, khususnya penduduk setempat yang bermukim di sekitar kawasan konservasi, dilarang keras untuk dapat menikmati berbagai manfaat yang diberikan oleh lingkungan sekitarnya. Penduduk dipisahkan dengan lingkungannya secara paksa, padahal mereka secara turun-temurun telah lama tinggal di wilayahnya.
Penerapan konservasi yang hanya menekankan pada aspek perlindungan alam fisik (flora dan fauna), tanpa melibatkan aspirasi dan kepentingan sosial ekonomi dan budaya penduduk sekitarnya, cepat atau lambat akan menemui kesulitan. Konservasi semacam itu juga tidak mungkin mencapai tujuan mulia konservasi alam, yaitu yang berwawasan lingkungan dan memberikan manfaat secara adil untuk segenap lapisan masyarakat.

Saran dan Kesimpulan

Konservasi melibatkan berbagai faktor ekologi fisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sebagai sebuah kesatuan.
Pada prinsipnya konservasi satwa liar bertujuan pertama-tama menciptakan kondisi keberlanjutan kehidupan satwa liar sebagai bagian dari habitatnya. Artinya konservasi satwa liar adalah konservasi biodiversity, yaitu, satwa dan lingkungan hidupnya (habitatnya) beserta seluruh ekosistem (tumbuhan, mikroorganisma, hewan lain, tanah, air dan ketergantungan diantara mereka).
Dalam konservasi alam, baik in-situ ataupun eks-situ, perlu selalu diingat bahwa alam dan segala isinya ini adalah untuk keseimbangan kehidupan antara manusia dan lingkungannya. Maka manusia sebagai mahluk terpintar perlu melestarikan, mempelajari dan memanfaatkan secara lestari seluruh isi alam, termasuk satwa liar. Sekali lagi, itu adalah prinsip kita (manusia) berhubungan dengan alam, yaitu save it, study it and use it, tapi secara lestari, untuk kehidupan masa kini dan akan datang.

1 komentar:

Junjung Purba mengatakan...

Tulisan bagus ya... apalagi yg nulis masih muda. HIDUP ANAK MUDA!!

linkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...