Jumat, Januari 09, 2009

Bolos Sekolah

Anda pernah cabut dari sekolah? Membolos kalau bahasa universalnya. Saya pernah, sering malah, jaman SMU dulu. Kalau kuliah mah jangan ditanya, soalnya kalau sudah kuliah mau masuk boleh, tidak masuk juga tidak apa-apa asal tanggung sendiri akibatnya nilai E di depan mata atau yang lebih buruk lagi tidak boleh ikut ujian. Yang saya bicarakan sekarang adalah membolos jaman kita masih sekolah. Saya sediri baru mulai membolos ketika menginjak bangku SMU. SD dan SMP saya termasuk anak yang tidak berani membolos, karena memang Ibu saya mengajar di sana, jelas ketahuan kalau saya mangkir dari sekolah.

SMU, kelas satu, hari Kamis, di mana jadwal pelajaran terbosan dari hari-hari yanng lainnya. David, salah seorang teman saya mempengaruhi saya untuk tidak masuk sekolah. “Ikut yuk Kis, ke smabel…” seratus lima belas, SMP di daerah Tebet itu kerap menjadi tujuan saya cabut dari sekolah. Teman saya ya David itu. Kebetulan beberapa teman masuk siang, jadi kami sering bermain bersama mereka. Tujuan lainnya adalah rumah teman saya di sebuah komplek perumahan di Pasar Minggu. Dia juga masuk siang, jadi saya leluasa bermain bersamanya. Jika saatnya dia berangkat sekolah, saya pun pulang ke rumah. Hal ini beberapa kali saya lakukan hingga saat terima raport di akhir tahun pelajaran saya banyak mendapat “A” di kolom “S/I/A” alias alpa. ah, toh saya masih masuk sepuluh besar.

Kelas dua tidak makin membaik perilaku saya, bahkan sebaliknya. Pelajaran tambahan yang diadakan selepas istirahat ke dua jarang saya ikuti, jika mood mendukung atau karena keinginan untuk tidur di kelas ber-AC saja yang membuat saya bertahan di dalam kelas. Lain itu lebih sering saya berada di sawin, atau di UKS atau di lantai 3 ruang lab bahasa untuk bermain gaple. memang alpa bisa saya kurangi, tidak ada lagi bahkan. Hal ini dikarenakan persekongkolan antara sekertaris kelas dengan murid yang lainnya.

Kelas tiga kami sudah tidak diperdulikan lagi, tempat cabut pun bervariasi. Tentu anda sekalian mengenal Situ Lembang, Taman Suropati, atau bahkan Parkit Senayan. ya.. ke sanalah kami biasanya cabut, bahkan pernah suatu ketika kami berempat bermain gaple di atas tempat instruktur senam berdiri, di Gelora Bung Karno. Jadi pusat perhatian kami kala itu, orang yang lewat pasti memperhatikan kami. Namanya anak muda, darah muda masih menggelora, kami malah bangga dibuatnya.

Pagar tinggi yang mengelilingi sekolah bukan halangan bagi kami. Terkadang Mesjid sekolah pun menjadi jalan kami menuju kebebasan. Bahkan kantin guru pun bisa jadi pintu keluar yang aman. Atau jika ingin lebih sopan langsung ijin ke satpam untuk dibukakan gerbang. Kalau sang satpam sedang berbaik hati pasti diijinkan, tapi ini jarang sekali terjadi. Tercatat tiga spot aman untuk menyeberang, di parkir sepeda motor belakang wall climbing, di tembok belakang sekitar tempat sampah dan di balik halte belakang kelas IPS.

Kira-kira seperti itulah kondisi saya saat SMU, badung, suka cabut, iseng, dan sekarang ya jadinya seperti ini…

disalin dari : Kata Kata Kaum Kusam

Tidak ada komentar:

linkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...