(theteachersguide.com) |
Head of Student and Alumni Afairs Sampoerna School of Education (SSE) Sulandjari Rahardjo mengatakan, anggapan perempuan lemah dalam matematika sebenarnya tidak relevan dengan kapabilitas perempuan sendiri. Anggapan ini kan, muncul karena kesempatan yang terbatas bagi anak perempuan untuk belajar matematika, ungkapnya.
Stereotiping ini kemudian membuat anak-anak perempuan yang berniat melanjutkan sekolah di bidang-bidang eksakta, khususnya matematika, harus mengeluarkan tenaga lebih untuk menjelaskannya kepada orangtua. Untungnya, lanjut Sulandjari, makin banyak perempuan yang menguasai bidang-bidang eksakta.
Padahal, perempuan juga sangat dekat dengan matematika karena matematika memang hadir dalam kehidupan sehari-hari. Sulandjari mengatakan, transaksi belanja dan bikin kue juga menggunakan prinsip matematika.
"Kemampuan itu sama. Hanya karena anggapan itu sudah lama ada di masyarakat, perempuan tidak diberi kesempatan. Ada anggapan perempuan itu enggak kuat dalam angka. Sebenarnya kalau diberi kesempatan yang sama, bisa juga kuat," katanya, Sabtu (23/10/2010).
Makin banyak pula perempuan yang menjadi guru-guru matematika membuat anak-anak perempuan juga termotivasi. Di jurusan Matematika STKIP Kebangkitan Nasional, Sulandjari mengatakan, jumlah calon guru matematika berimbang antara laki-laki dan perempuan.
"Oleh karena itu, perlu memperbaiki pola asuh di rumah dan budaya yang dianut. Kita harus pelan-pelan lihat, itu enggak bener," tambahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar