Kamis, Januari 11, 2007

Jeritan Hati Pengendara Motor

Jakarta sebagai kota metropolitan tidak terlepas dari berbagai macam permasalahan. Salah satu permasalahannya adalah kemacetan. Kemacetan sudah menjadi menu harian bagi masyarakatnya. Kemacetan dilihat dari sisi manapun memang merugikan. Kemacetan dapat mengakibatkan efek lanjutan antara lain waktu dan bahan bakar terbuang percuma (tua di jalan), kualitas udara yang menurun, membuat emosi masyarakat Jakarta semakin labil, dan rawannya tindak kejahatan. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi kemacetan di Jakarta mutlak dilakukan karena jika dibiarkan kemacetan akan menambah permasalahan baru. Namun, yang perlu diperhatikan dalam upaya pemecahan masalah kemacetan di Jakarta, Pemprov harus mendengar suara masyarakat dan melihat kondisi sosial budaya masyarakat Jakarta.

Pemprov DKI sudah melakukan berbagai macam cara untuk mengatasi atau setidaknya mengurangi titik kemacetan di Jakarta. Mulai dari three in one, pembangunan under-pass, fly-over, jalan tol, hingga busway. Memang upaya-upaya itu ada yang sudah membuahkan hasil, seperti pembangunan fly-over, under-pass, dan busway. Tetapi, upaya itu dinilai belum cukup untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Oleh sebab itu, Pemprov berencana membuat peraturan baru untuk mengatasi kemacetan. Aturan baru yang akan diterapkan Pemrov adalah membatasi gerak kendaraan bermotor di jalan-jalan protokol. Tentu saja hal ini membuat kuping para pengendara motor panas (termasuk saya). Sebuah rencana peraturan yang disambut dengan cacian, makian, umpatan, dan sumpah serapah oleh para pengendara motor (saya juga termasuk). Bagaimana tidak? Para pengendara motor sudah sakit hati karena dianggap biang kemacetan, sementara angkutan umum, truk-truk besar, mobil-mobil mewah dibiarkan jalan di jalanan sempit Jakarta, kini mereka harus menerima kenyataan pahit meninggalkan motor (baik kredit maupun cash) mereka untuk beralih ke angkutan umum. Padahal selain mahal, angkutan umum dinilai tidak mendukung mobilitas mereka. Hak para pengendara motor terampas!!!!

Saya sangat yakin bahwa dalam membuat peraturan tersebut pemprov tidak melihat kondisi sosial budaya masyarakat Jakarta. Masyarakat Jakarta adalah masyarakat yang sangat tidak sabaran, tidak tertib, tidak disiplin dan sembrono, namun sangat tinggi mobilisasinya. Sebuah paduan yang menarik. Ciri-ciri ini bisa dilihat di jalan raya. Motor, mobil, angkutan umum, bahkan hingga gerobak tukang roti saling beradu cepat sampai tujuan. Tidak ada yang mau mengalah. Yang paling parah adalah para pengendara motor (tapi saya tidak termasuk). Demi mengejar waktu, banyak pengendara motor yang “menghalalkan” segala cara untuk cepat sampai ke tempat tujuan. Menerobos lampu merah, naik trotoar, masuk jalur cepat, bahkan hingga melawan arus pun dilakukan banyak pengendara motor demi mengejar waktu. Akibatnya, kesemrawutan jalanan terjadi, hal ini berujung pada tingginya kecelakaan lalu-lintas di Jakarta. Pengendara motor tercatat sebagai pelaku tertinggi kasus kecelakaan lalu-lintas di Jakarta, baik menabrak maupun ditabrak.

Mobilisasi masyarakat Jakarta memang tidak diimbangi dengan sikap tertib dan disiplinnya. Mobilisasi inipun juga tidak didukung oleh sarana yang memadai. Di Jakarta, banyak jalanan yang sempit dan berlubang sehingga banyak menyebabkan kemacetan. Sarana angkutan umum pun hingga sekarang belum bisa mendukung mobilisasi masyarakat Jakarta. Dengan mobilisasi yang tinggi, namun diwarnai dengan jalanan yang sempit, kendaraan yang banyak/congested, dan angkutan umum yang mahal dan tidak memadai membuat sebagian masyarakat Jakarta memerlukan alat yang dapat mendukung mobilisasi mereka. Dan alat transportasi itu adalah sepeda motor. Selain bisa mendukung mobilisasi, sepeda motor juga murah dan terjangkau oleh sebagian besar masyarakat Jakarta, bahkan masyarakat golongan menengah bawah pun mampu mempunyai satu atau dua motor sekaligus, meskipun buat ngojek dan masih kreditan!

Di jalanan sempit dan macet Jakarta, motor ibarat air di padang pasir bagi masyarakat Jakarta, baik yang bekerja maupun sekolah. Dengan motor, mereka tidak akan terlambat ke kantor, ke sekolah, atau ke kampus. Dengan uang Rp.10.000,-, motor dapat mengantarkan kita keliling Jakarta. Bahkan jika mau berfilosofis, motor merupakan simbol kemenangan kaum miskin atas kaum kaya kota. Di jalanan motor bisa “mengalahkan” mobil-mobil gres kaum kaya. Di antara sela-sela mobil-mobil gres yang terjebak kemacetan, motor-motor dengan enak dan tanpa dosa terus melaju, meski perlahan. Tetapi jika dibandingkan dengan mobil-mobil yang tidak bisa bergerak sama sekali karena macet, hal itu sudah sangat baik. Dengan demikian, motor akan lebih cepat sampai tujuan jika jalanan macet. Yang besar ngalah sama yang kecil. Itulah pikiran yang ada di benak para pengendara motor. Sebuah kemenangan! Kemenangan yang hanya dijumpai di jalan raya. Namun tidak demikian di tempat kerja, bos-bos mereka yang menggunakan mobil-mobil gres kembali berkuasa, dan pengendara motor tetap saja tertindas, sebab pengendara motor sebagian besar golongan menengah bawah yang memang selalu tertindas oleh kaum kapitalis ibukota dan penguasa despotis.

Melihat fakta itu, pemrov seharusnya melakukan cara lain untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Pembatasan ruang gerak sepeda motor saya rasa hanya akan menyebabkan kemacetan di titik lain saja. Sebab, konsentrasi kendaraan akan semakin banyak di titik yang lain akibat pembatasan ruang gerak sepeda motor di suatu titik, meski di titik yang lain kemacetan berkurang. Sepeda motor sekarang tidak lagi menjadi kebutuhan tersier masyarakat Jakarta. Ia merupakan kebutuhan primer untuk menunjang kehidupannya, sama seperti sandang, pangan, dan papan. Semua itu karena pentingnya sepeda motor di Jakarta, selain karena mudahnya mendapatkan sepeda motor, baik dengan kredit, kash, maupun nyolong di parkiran. Tidak heran, pertumbuhan motor di Jakarta sangat tinggi.

Motor juga lambang kemerdekaan masyarakat miskin di jalanan. Dengan motor, mereka dapat merasakan bagaimana punya kendaraan bermotor pribadi, bagaimana rasanya mengalahkan mobil-mobil mewah para pengusaha, pejabat, eksekutif, dan sebagainya yang (maaf) keblinger, karena sudah tahu jalanan macet, kok tetap naik mobil, sudah tahu bensin mahal, kok tetap naik mobil, ya semua itu karena gengsi mereka. Mereka tidak mau dicap miskin karena menunggang motor, mereka tidak mau masuk angin karena naik motor, mereka mau pamer sopir pribadi kepada bawahannya, dan mereka juga mau pamer, “ini lho mobil baru saya, bagus kan?” ya mobil kalian memang bagus, tapi di Jakarta yang macet ini, mobil kamu tidak senilai dengan motor! Pengendara motor sebagai pengguna lalu-lintas juga memiliki hak sebagaimana pengguna lalu-lintas lainnya. Masih banyak cara yang bisa dilakukan pemrov untuk mengatasi kemacetan, seperti menambah dan memperbaiki angkutan umum, memberi jalur khusus kepada motor, menegakan aturan lalu-lintas, memberikan pajak mahal kepada mobil-mobil mewah, dan yang paling penting, membumikan disiplin berlalu-lintas bagi pengendara motor yang dianggap biang kemacetan!!!Akhirnya, pemprov harus kembali melihat kondisi sosial budaya masyarakat Jakarta dalam mengatasi kemacetan. Jangan rampas kebahagiaan pengendar motor!

Salam Liberasi untuk Pengendara motor yang selalu dianggap masalah, baik oleh pejabat, sopir angkutan umum, sopir pribadi, pengusaha, eksekutif, ulama, ulami, ubaru, pastur, pendeta, riponche, mahasiswa-mahasiswi dan siswa-siswi kaya yang ke kantor, kampus, ke sekolah, ke masjid, ke vihara, ke gereja, ke kuil naik mobil mewah, padahal bensin mahal dan jalanan macet ekonomis sulit, kecemburuan sosial tinggi, dan, padahal (juga) masjid dan sebagainya ga terlalu jauh dari rumahnya!!!. Seruan ini demi Jakarta dan penegakan persamaan hak dan pelaksanaan kewajiban yang lebih baik dan bertanggung jawab. maafkan saya jika kata-katanya terlalu kasar!Srengseng Sawah, Rabu 10 Januari pukul 17.45 WIB.

sumber:
http://jangan_bungkamhendaru.blogs.friendster.com

Tidak ada komentar:

linkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...