Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan standar tertentu sejak awal millenium ini, telah membawa kondisi psikologi siswa ke ruang yang baru, sebuah rasa takut sekaligus was-was menyoal kelulusan. Akhirnya UAN yang diutamakan, bahkan standar lulus yang diperluas dan didesentralisasikan ke sekolah tidak banyak membuat siswa bergeming untuk tetap mengutamakan UAN. UAN lulus pasti lulus semua, kira-kira begitulah keyakinan siswa kelas 12 sekarang ini. Padahal kelulusan sekarang, bergantung pula bukan hanya Nilai UAN tetapi UAS, Ujian Praktik/raport, dan sikap harus berstatus baik.
Disinilah timbul masalah, seharusnya siswa mengedepankan kebermaknaan dalam melampaui ujian-ujian tersebut, akan tetapi sebaliknya : mereka menganggap "tidak berpengaruh" apabila selain UAN anjlok (baca : akan dibantu sekolah). Hal ini cukup beralasan, karena selama ini pada umumnya Ujian akhir versi sekolah : "langka yang tidak lulus, semua lulus". Tercium wangi aroma kebohongan, dan bukan hal baru kalau gengsi sekolah telah 'menyulap' nilai yang rusak menjadi "kinclong". Keburukan tersebut, bertambah setelah banyak kalangan yang disebut pihak independen merilis kecurangan-kecurangan dalam UAN sekarang ini, bahkan sebelum-sebelumnya.
Kini, bagamanakah solusinya agar UAN dan UAS memeiliki kebermaknaan apabila siswa melakukannya?, dan jelas : agar tidak meremehkan versi sekolah. Pertama, untuk UAN dalam hal pendistribusisn yang dikawal polisis tetap dilanjutkan. Kedua, UAS diselenggarakan seperti UAN, dengan cara dibuat soal per-sanggar (baca : tingkat kecamatan) lalu direpacage oleh Diknas sebelum didistribusiskan ke setiap sekolah dalam naungan rayon tersebut. Ketiga : scan analisis jawaban diberikan ke sanggar masing-masing. Keempat : biaya operasional UAS, khususnya penggandaan soal, kertas, dan scan jawaban ditanggung sekolah. Kelima, sehubungan mengurangi kecurangan dengan drastis, maka pihak independen ditingkatkan derajatnya yang semula sebagai pemantau, berubah menjadi pengawas ujian di dalam kelas (baca : integritas mereka harus diuju, bukan?). Kelima, para guru menjadi penyelenggara ujian disekolah masing-masing.
Uraian diatas menunjukkan bahwa berbagai pihak terlibat secara aktif, sehingga kecurangan akan dapat ditekan sedemikian rupa dan selain pelajaran UAN "tiga serangakai", mendapat perlakuan yang sama di mata siswa. Sehingga siswa dapat lebih bangga bila menyelesaikan ujian akhir, baik versi negara maupun sekolah. Selain itu, apa yang ingin dicapai agar pendidikan secara nasional, bahkan masing-masing lulusan sekolah, dapat segera terealisir, yaitu setara dengan negara-negara tetangga, minimal se-Asia Tenggara. Semoga
Sucipto Ardi, S.Pd
Penggemar Pendidikan dan Sejarah
Disinilah timbul masalah, seharusnya siswa mengedepankan kebermaknaan dalam melampaui ujian-ujian tersebut, akan tetapi sebaliknya : mereka menganggap "tidak berpengaruh" apabila selain UAN anjlok (baca : akan dibantu sekolah). Hal ini cukup beralasan, karena selama ini pada umumnya Ujian akhir versi sekolah : "langka yang tidak lulus, semua lulus". Tercium wangi aroma kebohongan, dan bukan hal baru kalau gengsi sekolah telah 'menyulap' nilai yang rusak menjadi "kinclong". Keburukan tersebut, bertambah setelah banyak kalangan yang disebut pihak independen merilis kecurangan-kecurangan dalam UAN sekarang ini, bahkan sebelum-sebelumnya.
Kini, bagamanakah solusinya agar UAN dan UAS memeiliki kebermaknaan apabila siswa melakukannya?, dan jelas : agar tidak meremehkan versi sekolah. Pertama, untuk UAN dalam hal pendistribusisn yang dikawal polisis tetap dilanjutkan. Kedua, UAS diselenggarakan seperti UAN, dengan cara dibuat soal per-sanggar (baca : tingkat kecamatan) lalu direpacage oleh Diknas sebelum didistribusiskan ke setiap sekolah dalam naungan rayon tersebut. Ketiga : scan analisis jawaban diberikan ke sanggar masing-masing. Keempat : biaya operasional UAS, khususnya penggandaan soal, kertas, dan scan jawaban ditanggung sekolah. Kelima, sehubungan mengurangi kecurangan dengan drastis, maka pihak independen ditingkatkan derajatnya yang semula sebagai pemantau, berubah menjadi pengawas ujian di dalam kelas (baca : integritas mereka harus diuju, bukan?). Kelima, para guru menjadi penyelenggara ujian disekolah masing-masing.
Uraian diatas menunjukkan bahwa berbagai pihak terlibat secara aktif, sehingga kecurangan akan dapat ditekan sedemikian rupa dan selain pelajaran UAN "tiga serangakai", mendapat perlakuan yang sama di mata siswa. Sehingga siswa dapat lebih bangga bila menyelesaikan ujian akhir, baik versi negara maupun sekolah. Selain itu, apa yang ingin dicapai agar pendidikan secara nasional, bahkan masing-masing lulusan sekolah, dapat segera terealisir, yaitu setara dengan negara-negara tetangga, minimal se-Asia Tenggara. Semoga
Sucipto Ardi, S.Pd
Penggemar Pendidikan dan Sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar