Minggu, Maret 11, 2007

"Cyclorrutas", Kemanjaan Bersepeda

BOGOTA memang tidak memiliki pantai, tetapi dia memiliki jalur sepeda". Ungkapan itu lazim dikemukakan oleh warga Bogota untuk membanggakan jalur sepeda atau apa yang mereka sebut cyclorrutas. Di kota yang dalam rencana perkotaannya akan dikembangkan sebagai kota yang humanis (ciudad humana) itu, para pengguna sepeda maupun pejalan kaki sangatlah dimanjakan.

Lajur pedestrian dan sepeda menjadi bagian penting dari akses lalu lintas, yang sepertinya malah lebih penting dengan jalan raya. Bahkan, jalur-jalur pedestrian dan sepeda itu menembus berbagai kawasan, permukiman Bogota. Bukan saja jalur-jalur sepeda yang kompak, terintegrasi dengan akses sangat luas yang ada, Pemerintah Kota Bogota pun memanjakan para pejalan kaki dan pengguna sepeda dengan berbagai regulasi.

Setiap hari Minggu misalnya, sepanjang 153 kilometer (km) jalan raya dijadikan jalur khusus sepeda atau yang oleh warga setempat dikenal sebagai Ciclovias. Jalanan sepanjang itu tertutup untuk angkutan bermotor dan hanya diperbolehkan untuk pedestrian, pesepeda atau peseluncur (skater) dengan sepatu roda atau skateboard.

Itu belum termasuk jalur khusus sepeda yang telah terbangun sepanjang 270 km (dari 374 km yang direncanakan). Jalur sepeda sepanjang itu diklaim sebagai jalur khusus sepeda terpanjang di dunia. Bandingkan dengan jalur sepeda di Paris sepanjang 195 km atau di Lima (Peru) yang hanya 43 km.

Makanya, ketika peserta seminar internasional Human Mobility diajak serta untuk ikut dalam acara bersepeda ria pada Minggu (9/2) pagi, banyak peserta tidak melewatkannya. Apalagi panitia menyiapkan sepeda dan semua perlengkapannya, termasuk helm. "Jangan ke luar dari rombongan. Kita akan bergabung dengan dua juta pesepeda lainnya dari seluruh Bogota," kata seorang aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) Ciudad Humana Fundation (Yayasan Kota Humanis) yang memandu kami.

Mereka menyilakan kami memilih jalur 12,5 km atau 24 km yang akan menelusuri berbagai kawasan Bogota. Kebiasaan bersepeda pada hari Minggu, yang diikuti sekitar 2 juta orang warga kota itu, juga diklaim sebagai yang terbesar dalam gerakan bebas berkendaraan bermotor di dunia.

Begitulah kenyamanan tinggal di sebuah kota yang ramah, langsung menyergap ketika belum separuh jalan ditempuh dengan sepeda yang ringan terkayuh. Di jalur sepeda selebar 3 meteran maupun di jalan raya, termasuk jalan bebas hambatan, yang Minggu itu dikhususkan untuk sepeda, dipenuhi oleh keluarga, tua dan muda, warga Bogota yang bersepeda. Sejumlah lainnya mengasuh anak balitanya yang menggunakan sepatu roda atau sepeda mini.

Keceriaan rekreasi mereka seperti tidak menunjukkan bahwa dua hari sebelumnya terjadi peledakan bom di kelab mewah El Nogal, yang menewaskan 32 orang dan mencederai 160-an orang lainnya. "Kondisi normal yang kami perlihatkan ini menjadikan tindakan-tindakan teroris dan kriminal menjadi tidak efektif," kata seorang warga saat ditanya kok sepertinya ledakan bom tidak mempengaruhi mereka.

Maka dua juta warga Bogota yang diperkirakan bersepeda setiap akhir pekan itu juga menjadi warna lain kota dingin dengan suhu 6-20 derajat Celcius di ketinggian 2.640 meter di atas permukaan laut yang dilingkungi pegunungan itu. Berbeda dengan gaya bersepeda keseharian seperti yang biasa terlihat di Beijing, bahkan Yogyakarta maupun Kudus, Jawa Tengah, para pesepeda di Bogota pada hari minggu menikmati betul sebagai bagian dari rekreasi keluarga.

Warung-warung minum atau makanan ringan, bengkel sepeda sementara sepanjang jalan sepeda, yang hanya buka saat Ciclovias (hari bersepeda) berlangsung, siap menerima para pengayuh sepeda yang ingin melepas lelah. Begitu juga bengkel sepeda dadakan siap menerima reparasi ringan sepeda warga. Sepintas tenda-tenda itu mengingatkan kepada apa yang kita lihat di kawasan Parkir Timur Senayan, namun lebih tertata dan apik.

Para sukarelawan Ciclovias pun selalu sedia membantu, mengarahkan jalan serta menyetop kendaraan bermotor yang akan melintas untuk mengutamakan para pejalan kaki atau pesepeda. Para sukarelawan tersebut sebagai tim pendukung utama bagi pelaksanaan program bersepeda di hari Minggu itu.

Kemanjaan para pengguna sepeda terasa benar di Bogota. Selain jalanan yang kompak, rimbun dan menyenangkan jalur sepeda juga menembus berbagai pelosok permukiman. Sejenak terpikir proyek perbaikan kampung Mohammad Husni Thamrin (MHT) di Jakarta mengapa tidak dirancang seperti di Bogota sini? Pemerintah kota dengan udara sejuk itu benar-benar mempersiapkan infrastruktur yang sangat dibutuhkan warganya.

PEMERINTAH Kota Bogota berniat keras mengurangi polusi kotanya dan meningkatkan pengguna kendaraan non-bermotor di kotanya. Upaya ke arah itu dilakukan secara terencana dengan berbagai langkah yang jelas dan sistematis. Kampanye bahwa sepeda itu modis dan enggak ketinggalan zaman misalnya, dilakukan dengan peragaan para aktor atau aktris idola yang dalam penampilannya menggunakan atau membawa sepeda. "Kami harus meyakinkan warga kami bahwa sepeda itu juga modis," kata Ricardo Montezuma, dari Human Ciudad Fundation.

Langkah memanjakan pejalan kaki dan pesepeda itu, bukan saja dicerminkan dengan pembangunan jalan yang nyaman, yang disesuaikan dengan kondisi wilayah, namun juga berbagai fasilitas pendukungnya mulai dari toilet, bangku tempat mengaso hingga ke tempat parkir sepeda yang dibangun kompak dengan arsitektur kotanya. Bahkan, jembatan penyeberangan pun yang dibuat meliuk-liuk berseni menghias kota, walaupun panjang namun tidak melelahkan untuk dijalani atau ditempuh dengan sepeda. Arsitek dan perencana kota rupanya sudah menghitung benar apa yang dibutuhkan warganya. Berjalan kaki, bersepeda adalah sesuatu yang menyenangkan untuk dinikmati.

Konon, ketika buruknya pedestrian dan tidak adanya jalur bersepeda dipertanyakan mengapa tidak terjadi di Jakarta, seorang pejabat Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dengan enteng menjawab, "Saya tidak melihat bersepeda sebagai kebiasaan warga Jakarta. Mengapa harus repot-repot menyediakan rute sepeda".

Tidak heran, kejadian sebaliknya terjadi di Jakarta, mereka yang memiliki kendaraan pribadilah yang dimanjakan di Jakarta. Jalan tol dibangun di mana-mana dan siap dipadati kendaraan pribadi. Pedestrian atau jalan tol pun sudah lama dirampas para pengendara motor, bahkan bengkel atau bangunan salah fungsi lainnya.

Dan, ketika warga dengan sendirinya menggunakan protokol Jalan Sudirman-Jalan MH Thamrin untuk berolaraga. Apa yang dilakukan pejabat Pemprov DKI? Mereka berencana menutupnya. Sebuah ironi.(ush)
sumber : www.kompas.com (KCM) Senin, 24 Februari 2003

Tidak ada komentar:

linkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...